
Jakarta, Meski setiap orang dituntut untuk profesional dan memisahkan urusan pekerjaan dengan urusan rumah tangga, namun tak dapat dipungkiri apa yang terjadi di tempat kerja ikut berpengaruh terhadap hubungan, begitu juga sebaliknya. Yang paling kentara adalah pengaruh suportif tidaknya seorang atasan.
Hal ini terungkap dari sebuah studi terbaru yang diselenggarakan oleh US National Institute for Occupational Safety and Health.
"Hasil surveinya sih bervariasi, tapi Anda bisa melihat banyaknya responden yang melaporkan bahwa pekerjaan adalah sumber stres terbesar dalam hidup mereka," kata peneliti Michael Ford, asisten profesor psikologi dari University at Albany-State University of New York. Demikian dikutip dari Health24, Kamis (11/7/2013).
"Padahal pada waktu yang bersamaan, setiap orang tentu mempunyai kehidupan di luar dunia kerja. Jadi kami perlu lebih memahami bagaimana hal ini berpengaruh terhadap kesejahteraan fisik maupun psikologis responden. Saya kira ini merupakan suatu hal yang dapat dikaitkan dengan banyak orang," lanjutnya.
Pertama, pengaruh stres akibat pekerjaan terhadap kondisi kesehatan responden yang beragam. Peneliti lain, Leslie Hammer, profesor psikologi dari Portland State University, Oregon, menerangkan, "Dengan tingginya tingkat stres akibat pekerjaan atau stres yang berkaitan dengan dunia kerja, kami melihat sejumlah gangguan kesehatan mental."
"Di antaranya peningkatan level gejala depresi dan risiko penyakit kardiovaskular yang telah lama terbukti berhubungan dengan tekanan pekerjaan. Tak luput kami melihat masalah obesitas serta keluhan kesehatan fisik secara umum. Kalaupun mereka punya perilaku sehat maka stres di dunia kerja akan membuatnya hilang atau menurun," imbuh direktur Center for Work - Family Stress, Safety and Health tersebut.
Hammer pun menambahkan, ketika orang-orang merasa stres atau tertekan saat bekerja dan supervisor atau atasannya tak begitu suportif ketika dihadapkan dengan masalah di dunia kerja, kami juga melihat lebih banyak perilaku kesehatan negatif, misalkan pilihan menu makan yang buruk, kadar olahraga yang rendah, atau kurang tidur.
Kedua, stres akibat pekerjaan juga membebani hubungan dengan pasangan. "Ini jelas. Kualitas hubungan itu akan menurun. Ketika salah satu pihak mengalami stres/tekanan negatif, stres dalam dunia kerja, maka ini akan 'menular' ke pasangan atau anak-anaknya. Mereka akan merasakan stres dan tekanan yang sama diantara anggota-anggota keluarga tersebut," jelas Hammer.
Lagipula kata Hammer, di sejumlah literatur dikatakan bahwa ketika orangtua stres, maka anak-anaknya justru lebih tertekan. Hal ini bisa terlihat dari keluhan kesehatan yang dilontarkan anak atau kesulitan perilaku. Namun yang dianggap paling berperan dalam menentukan apakah seseorang bisa mengalami stres atau tidak di tempat kerja adalah manajer, supervisor atau atasan lainnya.
"Kurangnya dukungan atau pelecehan yang dilakukan atasan bisa berdampak langsung terhadap kehidupan rumah tangga, baik dalam hal waktu maupun energi yang terampas dari para pekerja, disamping mempengaruhi mood-nya," tutur Ford.
Lalu apa yang membedakan atasan yang baik dan yang buruk? Menurut Hammer, seorang manajer yang tidak suportif sama sekali tak mempedulikan kebutuhan di luar pekerjaan yang dimiliki bawahannya.
"Terkadang bos yang buruk akan memasang jadwal di menit-menit terakhir sehingga orang-orang yang punya tanggung jawab keluarga atau tanggung jawab lain harus mengatur ulang seluruh aktivitas di luar pekerjaan agar dapat menyesuaikan dengan jadwal kerjanya," kata Hammer.
"Padahal sekali seorang manajer tidak memperbolehkan bawahannya menentukan jadwalnya sendiri serta memegang kontrol penuh atas pekerjaan, hal itu akan berakibat pada tingginya level stres pekerja," pungkasnya.
Hal ini terungkap dari sebuah studi terbaru yang diselenggarakan oleh US National Institute for Occupational Safety and Health.
"Hasil surveinya sih bervariasi, tapi Anda bisa melihat banyaknya responden yang melaporkan bahwa pekerjaan adalah sumber stres terbesar dalam hidup mereka," kata peneliti Michael Ford, asisten profesor psikologi dari University at Albany-State University of New York. Demikian dikutip dari Health24, Kamis (11/7/2013).
"Padahal pada waktu yang bersamaan, setiap orang tentu mempunyai kehidupan di luar dunia kerja. Jadi kami perlu lebih memahami bagaimana hal ini berpengaruh terhadap kesejahteraan fisik maupun psikologis responden. Saya kira ini merupakan suatu hal yang dapat dikaitkan dengan banyak orang," lanjutnya.
Pertama, pengaruh stres akibat pekerjaan terhadap kondisi kesehatan responden yang beragam. Peneliti lain, Leslie Hammer, profesor psikologi dari Portland State University, Oregon, menerangkan, "Dengan tingginya tingkat stres akibat pekerjaan atau stres yang berkaitan dengan dunia kerja, kami melihat sejumlah gangguan kesehatan mental."
"Di antaranya peningkatan level gejala depresi dan risiko penyakit kardiovaskular yang telah lama terbukti berhubungan dengan tekanan pekerjaan. Tak luput kami melihat masalah obesitas serta keluhan kesehatan fisik secara umum. Kalaupun mereka punya perilaku sehat maka stres di dunia kerja akan membuatnya hilang atau menurun," imbuh direktur Center for Work - Family Stress, Safety and Health tersebut.
Hammer pun menambahkan, ketika orang-orang merasa stres atau tertekan saat bekerja dan supervisor atau atasannya tak begitu suportif ketika dihadapkan dengan masalah di dunia kerja, kami juga melihat lebih banyak perilaku kesehatan negatif, misalkan pilihan menu makan yang buruk, kadar olahraga yang rendah, atau kurang tidur.
Kedua, stres akibat pekerjaan juga membebani hubungan dengan pasangan. "Ini jelas. Kualitas hubungan itu akan menurun. Ketika salah satu pihak mengalami stres/tekanan negatif, stres dalam dunia kerja, maka ini akan 'menular' ke pasangan atau anak-anaknya. Mereka akan merasakan stres dan tekanan yang sama diantara anggota-anggota keluarga tersebut," jelas Hammer.
Lagipula kata Hammer, di sejumlah literatur dikatakan bahwa ketika orangtua stres, maka anak-anaknya justru lebih tertekan. Hal ini bisa terlihat dari keluhan kesehatan yang dilontarkan anak atau kesulitan perilaku. Namun yang dianggap paling berperan dalam menentukan apakah seseorang bisa mengalami stres atau tidak di tempat kerja adalah manajer, supervisor atau atasan lainnya.
"Kurangnya dukungan atau pelecehan yang dilakukan atasan bisa berdampak langsung terhadap kehidupan rumah tangga, baik dalam hal waktu maupun energi yang terampas dari para pekerja, disamping mempengaruhi mood-nya," tutur Ford.
Lalu apa yang membedakan atasan yang baik dan yang buruk? Menurut Hammer, seorang manajer yang tidak suportif sama sekali tak mempedulikan kebutuhan di luar pekerjaan yang dimiliki bawahannya.
"Terkadang bos yang buruk akan memasang jadwal di menit-menit terakhir sehingga orang-orang yang punya tanggung jawab keluarga atau tanggung jawab lain harus mengatur ulang seluruh aktivitas di luar pekerjaan agar dapat menyesuaikan dengan jadwal kerjanya," kata Hammer.
"Padahal sekali seorang manajer tidak memperbolehkan bawahannya menentukan jadwalnya sendiri serta memegang kontrol penuh atas pekerjaan, hal itu akan berakibat pada tingginya level stres pekerja," pungkasnya.
0 komentar:
Posting Komentar